Dalam sejarah ekonomi yang kita pelajari di lembaga pendidikan (mulai dari sekolah menengah-perguruan tinggi), menurut informasi yang kita terima, kepesatan ilmu ekonomi (economics) diklaim ditemukan oleh Adam Smith—yang tersemat padanya “Bapak Ekonomi”—kala merampungkan magnum-opusnya yang berjudul An Inquiry Into The Nature and Causes of The Wealth of Nation atau yang populer dikenal dengan The Wealth of Nation pada tahun 1776. Yang juga berbarengan dengan revolusi pemikiran/peradaban Eropa, renaissance.
Namun dibalik masa tersebut, muncul pertanyaan sentimentilnya, apa yang sejatinya terjadi antara rentang waktu selama 15 abad hingga kemudian munculnya Adam Smith dengan The Wealth of Nation-nya?
Joseph Alois Schumpeter, ekonom dan politisi berkebangsaan Austria yang terkenal berkat teori pembangunan maupun pertumbuhan ekonominya, menyebutkan dalam karyanya History of Economic Analysis yang terbit pada 1954 bahwa telah terjadi fenomena Great Gap dalam percaturan sejarah pemikiran ekonomi dunia selama lebih dari 500 tahun (5 abad). Masa inilah yang lantas disebut dengan the Dark Ages (masa suram) oleh Barat.
Rentang waktu dark ages terjadi antara abad 1 M - 13 M (atau kurang lebih 1300 tahun). Stagnasi pemikiran ilmu pengetahuan termasuk ilmu ekonomi, terjadi pada abad itu yang berujung pada keterbelakangan peradaban Barat. Intelektualitas tak menemukan nafasnya di Barat pada hari itu.
Karya Ekonom Oriental
Kekosongan gagasan intelektual tersebut berbanding terbalik dengan peradaban yang ada di dunia Timur (orient) kala itu. Maka di sinilah poin pentingnya. Di belahan Timur saat itu, pemikiran ekonomi berhembus kencang dengan ditandai oleh lahirnya teori-teori tentang ilmu ekonomi. Sebut saja Zaid bin Ali (699 M-738M), ia hadir dengan pemikiran ekonomi tentang jual beli secara kredit. Kemudian ada Abu Hanifah (699 M-767 M) yang menggagas tata cara jual beli barang yang dibayar diawal sementara barang yang dibeli diberikan pada akhir waktu yang disepakati. Ada Abu Yusuf (735 M-804 M) yang menganalisis hal tentang penetapan harga dan prinsip-prinsip dasar perpajakan (canons of taxation) yang tercakup dalam bukunya yang berjudul Al-Kharaj. Ada Abu Ubaid (776 M-846 M), sang penggagas pemikiran komprehensif konsep keuangan publik yang tertuang dalam kitab karyanya, Al-Amwal. Serta ada Asy-Syaibani (750 M-804 M) yang melahirkan teori perilaku ekonomi individu.
Pada rentang abad 11 M-15 M, tersebutlah pemikir-pemikir ekonomi antara lain al-Ghazali (1055 M-1111 M) dengan pemikirannya soal pemenuhan kebutuhan manusia, Ibnu Taimiyah (1283 M-1328 M) dengan fokusnya tentang pondasi etika moral ekonomi, serta al-Maqrizi (1364 M-1442 M) dengan studi khususnya mengenai uang dan kenaikan harga-harga. Lantas pada fase 1442 M hingga 1932 M ada tokoh-tokoh pemikir ekonomi Islam macam Shah Waliallah, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Iqbal. Fase ini juga dikenal dengan fase stagnasi pemikiran ekonomi Islam karena tertutupnya pintu ijtihad (sebuah cara mencurahkan segala pikiran untuk merumuskan sebuah hukum dari teks wahyu).
Dan kemudian berkembang pesatlah ilmu ekonomi yang berasal dari pemikir-pemikir Barat hingga memberikan pengaruh signifikan pada peradaban dunia hari ini.
Penjabaran di atas membuktikan bahwa ada missing link yang terjadi yakni (1) great gap pada masa dark ages serta (2) relasi antara pemikiran (termasuk ekonomi) antara dunia Barat dan Timur (Islam). Menjadi hal yang tak terbantahkan memunculkan adanya transformasi ilmu pengetahuan dari Timur ke Barat yang terjadi pada masa itu. Bahkan menurut hasil analisis para ekonom muslim kontemporer, buku The Wealth of Nations (1776 M) karya Adam Smith sangat terpengaruh oleh buku milik Abu Ubaid (832 M) yakni Al-Amwal yang arti harfiahnya adalah harta.
Menjadi Individu Bijak
Tiap individu adalah produk masyarakat, dan masyarakat adalah produk sejarah bangsanya. Kejadian masa lampau—dalam hal ini pemikiran ekonomi—yang menjadi pondasi asumsi dan lantas kemudian membangun persepsi masing-masing orang perlu direkonstruksi agar semua pihak tercerahkan secara gamblang. Kemampuan holistik dalam memahami dan mendalami sejarah pemikiran ekonomi, tidak parsial-parsial, senyatanya akan semakin membuka kita punya perspektif tentang ekonomi bahkan lebih dari itu, yakni kehidupan. Maka tak salah bilamana Bung Karno mengatakan pada rakyat Indonesia “Jangan sekali-kali melupakan sejarah !”
Dan pada akhirnya nanti kita benar-benar menjadi pribadi bijak yang mampu menghindari kesalahan dan cerdas. mengambil hikmah di masa lalu guna kemudian memperbaiki sekaligus menolong diri kita pribadi, orang lain, agama, bangsa, dan negara. Demi menciptakan tata perekonomian yang lebih baik menuju tatanan dunia baru yang mapan dan sejahtera. Di dunia maupun di akhirat kelak.
Namun dibalik masa tersebut, muncul pertanyaan sentimentilnya, apa yang sejatinya terjadi antara rentang waktu selama 15 abad hingga kemudian munculnya Adam Smith dengan The Wealth of Nation-nya?
Joseph Alois Schumpeter, ekonom dan politisi berkebangsaan Austria yang terkenal berkat teori pembangunan maupun pertumbuhan ekonominya, menyebutkan dalam karyanya History of Economic Analysis yang terbit pada 1954 bahwa telah terjadi fenomena Great Gap dalam percaturan sejarah pemikiran ekonomi dunia selama lebih dari 500 tahun (5 abad). Masa inilah yang lantas disebut dengan the Dark Ages (masa suram) oleh Barat.
Rentang waktu dark ages terjadi antara abad 1 M - 13 M (atau kurang lebih 1300 tahun). Stagnasi pemikiran ilmu pengetahuan termasuk ilmu ekonomi, terjadi pada abad itu yang berujung pada keterbelakangan peradaban Barat. Intelektualitas tak menemukan nafasnya di Barat pada hari itu.
Karya Ekonom Oriental
Kekosongan gagasan intelektual tersebut berbanding terbalik dengan peradaban yang ada di dunia Timur (orient) kala itu. Maka di sinilah poin pentingnya. Di belahan Timur saat itu, pemikiran ekonomi berhembus kencang dengan ditandai oleh lahirnya teori-teori tentang ilmu ekonomi. Sebut saja Zaid bin Ali (699 M-738M), ia hadir dengan pemikiran ekonomi tentang jual beli secara kredit. Kemudian ada Abu Hanifah (699 M-767 M) yang menggagas tata cara jual beli barang yang dibayar diawal sementara barang yang dibeli diberikan pada akhir waktu yang disepakati. Ada Abu Yusuf (735 M-804 M) yang menganalisis hal tentang penetapan harga dan prinsip-prinsip dasar perpajakan (canons of taxation) yang tercakup dalam bukunya yang berjudul Al-Kharaj. Ada Abu Ubaid (776 M-846 M), sang penggagas pemikiran komprehensif konsep keuangan publik yang tertuang dalam kitab karyanya, Al-Amwal. Serta ada Asy-Syaibani (750 M-804 M) yang melahirkan teori perilaku ekonomi individu.
Pada rentang abad 11 M-15 M, tersebutlah pemikir-pemikir ekonomi antara lain al-Ghazali (1055 M-1111 M) dengan pemikirannya soal pemenuhan kebutuhan manusia, Ibnu Taimiyah (1283 M-1328 M) dengan fokusnya tentang pondasi etika moral ekonomi, serta al-Maqrizi (1364 M-1442 M) dengan studi khususnya mengenai uang dan kenaikan harga-harga. Lantas pada fase 1442 M hingga 1932 M ada tokoh-tokoh pemikir ekonomi Islam macam Shah Waliallah, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Iqbal. Fase ini juga dikenal dengan fase stagnasi pemikiran ekonomi Islam karena tertutupnya pintu ijtihad (sebuah cara mencurahkan segala pikiran untuk merumuskan sebuah hukum dari teks wahyu).
Dan kemudian berkembang pesatlah ilmu ekonomi yang berasal dari pemikir-pemikir Barat hingga memberikan pengaruh signifikan pada peradaban dunia hari ini.
Penjabaran di atas membuktikan bahwa ada missing link yang terjadi yakni (1) great gap pada masa dark ages serta (2) relasi antara pemikiran (termasuk ekonomi) antara dunia Barat dan Timur (Islam). Menjadi hal yang tak terbantahkan memunculkan adanya transformasi ilmu pengetahuan dari Timur ke Barat yang terjadi pada masa itu. Bahkan menurut hasil analisis para ekonom muslim kontemporer, buku The Wealth of Nations (1776 M) karya Adam Smith sangat terpengaruh oleh buku milik Abu Ubaid (832 M) yakni Al-Amwal yang arti harfiahnya adalah harta.
Menjadi Individu Bijak
Tiap individu adalah produk masyarakat, dan masyarakat adalah produk sejarah bangsanya. Kejadian masa lampau—dalam hal ini pemikiran ekonomi—yang menjadi pondasi asumsi dan lantas kemudian membangun persepsi masing-masing orang perlu direkonstruksi agar semua pihak tercerahkan secara gamblang. Kemampuan holistik dalam memahami dan mendalami sejarah pemikiran ekonomi, tidak parsial-parsial, senyatanya akan semakin membuka kita punya perspektif tentang ekonomi bahkan lebih dari itu, yakni kehidupan. Maka tak salah bilamana Bung Karno mengatakan pada rakyat Indonesia “Jangan sekali-kali melupakan sejarah !”
Dan pada akhirnya nanti kita benar-benar menjadi pribadi bijak yang mampu menghindari kesalahan dan cerdas. mengambil hikmah di masa lalu guna kemudian memperbaiki sekaligus menolong diri kita pribadi, orang lain, agama, bangsa, dan negara. Demi menciptakan tata perekonomian yang lebih baik menuju tatanan dunia baru yang mapan dan sejahtera. Di dunia maupun di akhirat kelak.